Kerajaan
Mempawah bermula dari sebuah kerajaan Dayak
yang berkedudukan di dekat pegunungan
Sidiniang, Sangking, Mempawah Hulu yang berdiri
kira-kira tahun 1340 Masehi. Kerajaan yang
dipimpin oleh Patih Gumantar itu disebut-sebut sebagai
pecahan kerajaan Matan/Tanjungpura. Kerajaan ini sangat
populer pada zamannya. Patih Gumantar juga telah
mengajak Patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit
mengadakan kunjungan dalam menyatukan Nusantara.
Kunjungan ini kemungkinan besar dilaksanakan
sesudah lawatan Gajahmada ke kerajaan Muang Thai
dalam membendung serangan kerajaan Mongol. Saat
itu Gajahmada memberikan hadiah Keris Susuhan
yang masih tersimpan sampai saat ini di Hulu
Mempawah. Kerajaan ini harus berakhir ketika
kira-kira tahun 1400 Patih Gumantar tewas
terkayau oleh serangan suku Biaju/Miaju.
Sekitar
tahun 1610 kerajaan ini bangkit dan
dilangsungkan di bawah kekuasaan Raja
Kudung/Kodong. Pusat pemerintahan kerajaan Dayak
ini berada di Pekana, Karangan. Istrinya
bernama Puteri Berkelim.
Setelah
Raja Kodong wafat pada tahun 1680,
pemerintahan digantikan oleh Raja
Senggauk/Sengkuwuk. Ibukota kerajaan dipindhkan
dari Pekana ke Senggauk, hulu sungai Mempawah.
Raja Dayak ini beristrikan putri Kerajaan Batu
Rizal Indragiri Sumatera yang bernama Putri Cermin.
Putri Raja Kodong yang bernama Utin Indrawati kemudian
dinikahi Panembahan Muhammad Zainudin, putra Kerajaan
Tanjungpura.
Putri
Kesumba, cucu Raja Senggauk dari Panembahan
Muhammad Zainudin kemudian menikah dengan Opu
Daeng Menambon, bergelar Pangeran Mas Surya
Negara dari kerajaan Luwuk yang berdiam di
Kerajaan Tanjungpura. Opu Daeng Menambon
kemudian diangkat sebagai raja. Ia memindahkan pusat
kerajaan ke daerah Sebukit Rama.
Tahun
1766 setelah wafatnya Opu Daeng Menambon,
putra mahkota bergelar Panembahan Adiwijaya
Kesuma Jaya naik takhta. Adiwijaya terkenal
anti penjajahan dan pada masanya perlawanan
terhadap Belanda pernah terjadi di daerah
Galaherang, Sebukit Rama dan Sangking.
Tahun
1840 takhta diserahkan kepada putra mahkota
Gusti Jati. Kota pusat kerajaan dibangun di
pulau Pedalaman, tempat bekas pendudukan
Belanda. Ibukota pusat pemerintahan dinamakan
Mempawah, satu nama yang diambil dari nama pohon yang
banyak tumbuh di hulu sungai Mempawah, yakni pohon
Mempauh.
Pada
zaman pemerintahan Gusti Jati terjadi serangan
Sultan Kasim dari kerajaan Pontianak yang
mengakibatkan mundurnya Gusti Jati ke daerah
kerajaan lama, walau Sultan Kasim berhasil
diusir mundur ke Pontianak. Tahun 1831 Belanda
memanfaatkan kesempatan dengan menobatkan Gusti Amin
menduduki kursi pemerintahan. Raja-raja berikutnya juga
merupakan boneka Belanda. Setelah raja Gusti Muhammad
Thaufiq Accamuddin ditangkap Jepang pada tahun
1944, Jepang mengangkat raja Gusti Mustaan
sebagai pemangku jabatan Wakil panembahan
karena putra mahkota masih terlalu muda. Putra
mahkota tertua, Drs Jimmy Ibrahim, kemudian
tidak melanjutkan pemerintahan karena
penghapusan swapraja di Indonesia.