Lirik Lagu

masuk ke Lirik dan Chord Lagu untuk mencari informasi tentang lirik dan chord lagu-lagu rohani .

Wednesday, September 26, 2012

Pasir Terapung


Pasar Terapung Banjarmasin: Sebuah Catatan Peninggalan Sejarah

Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang terletak di salah satu pulau terbesar di Indonesia yaitu Kalimantan. Banjarmasin yang masuk ke dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan ini, seperti dikutip dari website pemerintah daerah Banjarmasin, memiliki luas sekitar 72 km per segi atau sekitar 0,22 persen luas wilayah Kalimantan Selatan.

Dibelah oleh sungai Martapura memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakatnya terutama pemanfaatan sungai sebagai sarana transportasi air, perdagangan dan pariwisata. Banjarmasin sebagai ibukota propinsi adalah pusat perdagangan dan pariwisata. Kota ini mendapat julukan Kota Air karena letak daratan yang beberapa senti di bawah permukaan air laut. Yang paling terkenal di Banjarmasin adalah pasar terapung.

Kehadiran pasar terapung sendiri tidak lepas dari sejarah kota Banjarmasin. Seperti dikutip dari blog gitacinta.multiply.com, pada tahun 1526 Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi sungai Kuin dan Barito yang kemudian menjadi cikal bakal kota Banjarmasin. Di tepian sungai ini pula pusat perdagangan tradisional mulai berkembang. Selain pasar terapung di Muara Kuin Banjarmasin, pasar terapung lainnya dapat kita temui di Lok Baintan yang berada di atas Sungai Martapura. Tapi pasar apung disini tidaklah sepopuler Muara Kuin Banjarmasin mungkin dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota.

Untuk dapat menikmati eksotisme pasar apung, kita dapat menyewa sebuah perahu motor air yang disebut Kelotok. Harga sewa dari sebuah Kelotok berkisar antara Rp50.000 hingga Rp70.000 tergantung dari jumlah penumpang. Perjalanan wisata dari pusat kota menuju pasar apung Kuin Banjarmasin memakan waktu sekitar 1 jam dengan perahu kelotok ini, sedangkan dengan angkutan darat hanya memakan waktu sekitar 15 menit.

Seperti dikutip dari Mediahalo edisi Mei 2006, dengan menggunakan perahu kelotok kita dapat melihat budaya masyarakat Banjar yang menjual sayur mayur, kue-kue, makanan dan minuman khas Banjarmasin, seperti Soto Banjar pun bisa dinikmati dari atas perahu (jika tidak menggunakan kelotok) atau bisa langsung bertransaksi dari perahu ke perahu. Pasar apung ini digelar setiap harinya mulai pukul 5 pagi sampai 8 pagi.

Saturday, March 31, 2012

Kutai Lama


Kutai Lama : Asal Kata Kutai...

Mahakam adalah saksi sejarah yang tertua, Airnya yang mengalir dari hulu ke hilir, berputar-putar di setiap lekukan teluk, berdesir melewati celah-celah tebing, seakan nyanyian alam yang tak pernah berhenti menyanyikan lagu-lagu zaman.

Kerajaan Kutai yang berdiri tahun 1320 tidak akan pernah tertulis dalam catatan sejarah, seandainya dahulu tidak ada seorang Raja Kutai Lama "Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martapura" (1730-1732) dan mungkin pula kata "Kutai" tidak pernah ada, andaikan jauh sebelum itu tidak ada sebuah kapal Cina yang terdampar ke sana. Mereka singgah untuk menjahit layar yang dirobek-robek badai. Sampai-sampai gunung disitu dinamakan Gunung Jahitan Layar.

Laksamana Chen Pie yang memimpin ekspedisi pelayaran, merasa kapalnya telah berada jauh dari muara, lalu menyebut tempat yang disinggahinya dengan nama "Kho Thei" atau tempat yang jauh di pedalaman. Kata ini berproses dari mulut ke mulut, untuk kemudian lidah rakyat setempat lebih pas mengucapkannya dengan kata Kutai. Dari sinilah cikal bakal Kutai yang kita kenal.

Wednesday, February 8, 2012

Dayak


Kata Dayak untuk suku Dayak di kalimantan sebenarnya mengambil istilah dari kata Dayak Indian warga pribumi di benua Amerika. Jadi tepatnya, kata Dayak itu hanya sebutan yang digunakan oleh peneliti asing. Namun sebutan ini memberikan pengaruh kepada perkembangan kebudayaan warga Dayak di Kalimantan yang kemudian mengadaptasi bentuk-bentuk budaya Suku Dayak Indian di benua Amerika seperti yang terlihat melalui kesenian tari maupun cara berpakaian mereka di masa lalu.
Antara lain dari penggunaan bulu burung besar yang mereka kenakan di kepala, menghiasi wajah dengan coretan di wajah dan lain sebagainya ketika melaksanakan pertunjukan adat maupun kesenian.
Suku Dayak sendiri memang berasal dari daratan Cina, tepatnya Mongolia.
Hal ini gampang dilihat dari bangun fisik khususnya wajah, dan kulit warga suku Dayak serta barang-barang kuno peninggalan lama yang banyak terdapat di tengah komunitas suku ini di pedalaman, seperti Guci, Piring, Manik dan sebagainya yang khas asli dari Tiongkok.
Dari peninggalan yang ada di pedalaman Kutai Kartanegara seperti di Gua Gunung Kong Beng (Ini nama seorang panglima tentara Tiongkok yang melarikan diri dari negerinya dan sampai di pedalaman Kaltim) warga Dayak merupakan pendatang di Kalimantan, ketika di sini sudah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu seperti Mulawarman yang merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia dengan Rajanya Purnawarman di Kutai Kartanegara.
Mengapa warga Dayak tidak memiliki kerajaan sendiri di pulau ini, khususnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena mereka memang hanya pendatang. Meski demikian, dalam sejarahnya, mereka memiliki hubungan kesetiaan yang kuat dengan Kerajaan Kerajaan yang ada tersebut, seperti dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Wednesday, January 18, 2012

Kelenteng


Asal Mula kata Kelenteng
MASA Dinasti Tang (618-907) China berhasil mengirim ekspedisi militernya ke daerah China Selatan. Sejak itu orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara dan banyak yang terus menetap. Diantara mereka banyak sekali orang-orang Hoakio/Hokkian yang berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di propinsi Fukien (Fujian) dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan Makao di propinsi Kwangtung (Guangdong).
Pada masa Dinasti Sung (907- 1127) mulai banyak pedagang-pedagang China yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah, kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia.
Dalam sejarah China Kuno, dikatakan bahwa orang-orang China mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten dan Jakarta.
Orang China datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk pula unsur agamannya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Di dalam masyarakat China dikenal adanya tiga agama yaitu Khong Hu Cu, Tao dan Buddha. Akan tetapi dalam prakteknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan.
Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma. Campuran ketiga agama tersebut dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan latar belakang orang China di Asia Tenggara. Para leluhur mereka datang dari Cina Selatan dimana ketiga agama itu diterima sebagai satu kepercayaan.
Demikian pula halnya dengan orang China. Mereka juga memiliki tempat ibadah yang dinamakan Kelenteng.
Evelin Lip, salah satu arsitektur China, menyatakan bahwa masyarakat China yang ingin mendirikan sebuah bangunan suci biasanya akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di China. Aturan-aturan tersebut adalah bahwa suatu bangunan suci biasanya didirikan diatas podium, dikelilingi oleh pagar keliling, mempunyai keletakan simetris, mempunyai atap dengan arsitektur China, sistim strukturnya terdiri dari tiang dan balok serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan. Satu hal lagi yang tidak dapat dilupakan masyarakat China dalam pencarian lokasi adalah berpedoman pada Hong Sui (Feng Sui). Dengan berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan akan memberikan keberuntungan pada penghuninya.
Selain itu juga Lip mengatakan bahwa Kelenteng-kelenteng di China Utara berukuran lebih besar dan hiasannya sangat sedikit dibandingkan dengan yang ada di China Selatan dimana kelentengnya mempunyai banyak hiasan.
Bumbungan atapnya dihiasi dengan motif naga, burung phoenix, ikan, mutiara atau pagoda dan ujung bumbungannya melengkung ke atas. Ciri arsitektural seperti inilah yang dibawa ke Singapore dan Malaysia oleh para perantau dan Pedagang China.
Dari mana asal mula kata Kelenteng.
Ada dua versi tentang asal mula kata Kelenteng.
Banyak dari kita yang mengira kata Kelenteng adalah istilah luar. Tetapi sebenarnya kata Kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia. Kalau ditilik kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan - seperti Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek - demikian pula halnya dengan Kelenteng. Ketika di Kelenteng diadakan upacara keagamaan, sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi 'klinting' sedang genta besar berbunyi 'klenteng'. Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat ibadat orang China dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat tersebut. (Moertiko hal.97)
Versi lain menurut 'Kronik Tionghoa di Batavia', disebutkan bahwa sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan mendirikan sebuah tempat ibadah untuk menghormati Guan yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi welas asih Buddha yang lazim dikenal sebagai Kwan Im. Pada abad ke-17 waktu umat kristen Jepang dianiaya, patung Dewi Kwan Im menggantikan patung Bunda Maria untuk menyesatkan mata-mata polisi Jepang. Tempat ibadah di Glodok itu disebut Guan yin Ting atau tempat ibadah Dewi Guan yin (Kwan Im). Kata Tionghoa Yin-Ting ini disebut dalam kata Indonesia menjadi Klen-Teng, yang kini menjadi lazim bagi semua tempat ibadah Tionghoa di Indonesia. (Heuken hal.181). Diisi oleh Staf SDM Disbudpar Prov. Kalbar